Welcome!

I am Ano Jumisa a Translator an Interpreter working in german, english, and indonesian

View Work Hire Me!

About Me

Translation
Interpreting
Proofreading
Who am i

Ano Jumisa

Professional Translator

A skilled translator and interpreter fluent in German, English, and Indonesian, specializing in technical content. Bridging language gaps with precision and expertise, ensuring seamless communication across diverse industries.

Ano Jumisa's meticulous attention to detail and deep understanding of technical terminology guarantees accurate and reliable translations, making complex concepts accessible to a wider audience.

Services

Translation

Seamlessly translating your content between German, English, and Indonesian, preserving the essence and cultural nuances.

Interpreting

Facilitating smooth communication in meetings, conferences, and events, bridging language barriers with precision and professionalism.

Editing

Polishing your written materials to perfection, refining grammar, style, and structure for a flawless and impactful final product.

Proofreading

Thoroughly reviewing your texts with meticulous attention to detail, eliminating errors and inconsistencies to enhance clarity and readability.

My Blog

Teori Ekuivalensi dalam Penerjemahan


Teori ekuivalensi merupakan salah satu aspek dalam kajian penerjemahan yang paling banyak dibahas. Banyak ahli yang mencoba mendalami subkajian ini untuk melihat pengaruh kesetaraan dan komparasi makna dalam aktivitas penerjemahan. Mulai dari Vinay dan Darbelnet yang meyakini bahwa ekuivalensi dalam penerjemahan merupakan replikasi situasi yang disampaikan dengan kata-kata yang sepenuhnya berbeda dalam teks sasaran. Diteruskan dengan Roman Jakobson yang memperkenalkan tiga tingkatan ekuivalensi mulai dari tingkatan intralingual yang masih dalam sistem bahasa yang sama seperti metode parafrasa, tingkatan interlingual (antar bahasa), dan intersemiotic (antar sistem semiotika). Selanjutnya, tongkat estafet kajian ekuivalensi penerjemahan dilanjutkan oleh Eugene Nida yang membagi teori ekuivalensi menjadi ekuivalensi formal dan ekuivalensi dinamis.

Selain itu, ada juga Catford yang lebih menyoroti aspek linguistik dan memperkenalkan teori pergeseran terjemahan. Juliane House dalam bukunya A Model of Translation Quality Assessment juga menyumbangkan buah pemikiran yang berkaitan dengan teori ekuivalensi dalam bentuk teori overt dan covert translation.

Fokus para ahli linguistik dalam menelaah teori ekuivalensi dalam penerjemahan terbagi ke dalam dua pendekatan, yakni pendekatan linguistik dan pendekatan komunikasi antarbudaya. Ada beberapa ahli yang hanya terpaku pada aspek linguistik ketika melakukan penelitian bidang penerjemahan. Hal ini menimbulkan masalah baru karena pada dasarnya penerjemahan tidak berdiri sendiri di atas kajian linguistik. Ada aspek budaya yang sangat berpengaruh pada saat berlangsungnya proses penerjemahan. Kekosongan ini menjadi celah baru bagi para ahli untuk melihat pengaruh budaya dalam penerjemahan. Namun, masalah baru muncul ketika aspek linguistik tidak terlalu dikaitkan dengan penelitian ekuivalensi ini. Oleh karena itu, para ahli linguistik penerus mulai meletakkan kajian penerjemahan sebagai kajian multidisiplin.

Di tengah persimpangan yang memisahkan pendekatan yang digunakan para ahli linguistik untuk mengeksplorasi teori ekuivalensi, muncul sosok Mona Baker yang menawarkan konsep ekuivalensi yang lebih terperinci. Baker menelaah teori ekuivalensi pada berbagai tataran proses penerjemahan termasuk juga aspek linguistik dan komunikasi.

Berikut ini adalah tataran ekuivalensi dalam penerjemahan menurut Mona Baker:
  • Ekuivalensi pada tataran kata dan di atas tataran kata.
Tanpa perlu diperdebatkan, fokus pertama penerjemah pada saat melakukan kegiatan penerjemahan tentu saja terpaku pada tataran kata teks sumber. Penerjemah akan mengamati unit kata yang muncul untuk dicarikan padanan yang setara dalam teks sasaran (TSa). Namun, satu unit kata bisa mengandung lebih dari satu makna sehingga penerjemah perlu masuk lebih dalam dan mempertimbangkan beberapa faktor yang memengaruhi kemunculan suatu kata dalam teks sumber (TSu). Aspek bahasa seperti bentuk jamak atau tunggal, gender dan sistem kala dalam beberapa bahasa akan sangat memengaruhi pengejawantahan ekuivalensi dalam penerjemahan.
  • Ekuivalensi gramatika
Ada banyak aturan gramatika dalam berbagai bahasa yang menciptakan masalah baru saat mencari korespondensi langsung atas suatu teks sumber dalam bahasa sasaran. Perbedaan struktur gramatika dalam berbagai bahasa ini dapat memicu perubahan signifikan ketika suatu teks dialihbahasakan ke dalam suatu bahasa sasaran. Bersamaan dengan kemunculan masalah ini, penerjemah cenderung dihadapkan pada dilema untuk menambahkan atau mengubah informasi pada saat disampaikan dalam bahasa sasaran. Fenomena ini biasanya terjadi akibat terbatasnya perangkat gramatika dalam suatu bahasa sasaran.
  • Ekuivalensi tekstual
Tataran tekstual suatu bahasa merupakan aspek penting yang dapat dijadikan tuntunan pada saat menganalisis teks sumber guna untuk menghasilan teks yang kohesif dan koheren bagi penutur bahasa sasaran. Penerjemah memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan akan mempertahankan aspek kohesif dan koheren teks sumber. Keputusan penerjemah ini ditentukan oleh tiga faktor yang berpengaruh di antaranya target pembaca, tujuan penerjemahan, dan jenis teks.
  • Ekuivalensi pragmatik
Tataran pragmatik di sini mengacu pada implikatur pada saat penerjemahan dilakukan. Implikatur pada konteks ini merujuk pada suatu tuturan yang disampaikan secara implisit. Penerjemah diharuskan untuk menelaah dan memahami makna yang terkandung dalam suatu tuturan yang implisit sehingga pesan yang tersembunyi tersebut dapat disampaikan kepada target pembaca. Peran penerjemah di sini adalah merumuskan kembali tuturan yang berisi makna yang ingin disampaikan penutur dengan cara yang berbeda sehingga target pembaca dapat memahaminya.

Referensi:
Baker, Mona. 1992. In Other Words: a Coursebook on Translation. London: Routledge.

Translation Brief (Ãœbersetzungsauftrag) dalam Penerjemahan


Pengejawantahan teori skopos dalam penerjemahan mengantarkan Christiane Nord, seorang ahli studi penerjemahan asal Jerman, pada sebuah rumusan petunjuk penerjemahan (translation brief). Rumusan ini bertujuan untuk memudahkan penerjemah dalam melaksanakan pekerjaannya dan memfokuskan ruang gerak penerjemah agar tetap memerhatikan tujuan awal penerjemahan.

Penerjemah atau juru bahasa seringkali menghadapi beragam situasi yang menguji kemampuan beradaptasi dalam konteks komunikasi. Pemberi kerja biasanya mengharapkan agar terjemahan bisa sesuai dengan tujuan awal tugas penerjemahan. Penyesuaian terhadap tujuan ini kerap terlupakan karena kurangnya pengetahuan mengenai keadaan kepada siapa teks hasil terjemahan tersebut akan disampaikan.

Kita ambil contoh sederhana misalnya penerjemahan sebuah draf sambutan yang awalnya ditujukan untuk orang dewasa. Namun, target audiens untuk teks terjemahan berubah menjadi anak-anak. Pada awal sambutan terdapat kata-kata “ladies and gentlemen”, penerjemah seharusnya tidak menerjemahkan frasa tersebut menjadi “bapak dan ibu sekalian”, melainkan menjadi “adik-adik sekalian” tergantung siapa yang akan menyampaikan sambutan tersebut dan posisinya sebagai apa.

Dari contoh di atas bisa dipahami bahwa konteks dan tujuan suatu penerjemahan tidak serta merta sama dengan konteks dan tujuan teks sumbernya. Oleh karena itu, Nord mengatakan perlunya menyusun profil teks sasaran sebelum melakukan proses penerjemahan. Profil ini terangkum dalam petunjuk penerjemahan (translation brief) yang terdiri dari:

1. Target pembaca atau penerima teks sasaran;
Penerjemah harus mengetahui siapa yang akan menjadi pembaca teks terjemahan. Perbedaan usia, kelompok, budaya, dan pengetahuan audiens perlu disesuaikan dalam teks terjemahan agar pesan tetap dapat diterima oleh target audiens.

2. Waktu dan tempat penerimaan teks sasaran;
Latar waktu dan tempat juga perlu diperhatikan oleh penerjemah agar hasil terjemahan tetap bisa berterima sesuai konteks waktu dan tempat ketika terjemahan tersebut disampaikan.

3. Medium tempat teks sasaran akan disampaikan;
Teks terjemahan yang akan diterbitkan pada majalah remaja akan berbeda nuansanya jika diterbitkan pada surat kabar politik. Pilihan kosakata dan diksi pada medium yang berbeda akan memengaruhi jalur yang harus ditempuh penerjemah pada saat melaksanakan tugasnya.

4. Motif dari produksi atau penerimaan teks.
Tujuan penerjemahan juga harus memerhatikan motif yang terkandung dalam teks yang akan diterjemahkan. Perbedaan fungsi teks akan berpengaruh terhadap cara teks sasaran akan disampaikan. Teks untuk tujuan pemasaran perlu pendekatan persuasif agar fungsi pemasarannya dapat tersampaikan. Teks ekspresif misalnya dalam karya sastra perlu pendekatan emosi dan permainan kata agar nilai kesastraannya tetap terjaga.

Referensi:
Nord, Chriatiane. 1997. Translating as a Purposeful Activity. Menchester, UK: Stjerome Publishing

Teori Skopos dalam Studi Penerjemahan



Penilaian atas kualitas suatu terjemahan seringkali terlalu disederhanakan. Suatu teks hasil proses penerjemahan kerap dianggap baik hanya ketika teks tersebut ekuivalen atau setara dengan teks sumbernya. Validitas hasil suatu terjemahan diukur hanya berdasarkan tingkat keterwakilan teks terjemahan atas teks sumbernya. Dengan kata lain, keberhasilan proses penerjemahan dapat dikatakan tercapai ketika struktur sintaksis TSu (teks sumber) tidak jauh berbeda dengan TSa (teks sasaran), pengalihan unsur semantik dari TSu ke dalam TSa masih dalam koridor yang setara bahkan sama persis, atau sederhananya tidak ada perubahan signifikan antara TSu dan Tsa.

Stereotip penilaian kualitas penerjemahan dengan standar tersebut mulai ditentang oleh para ahli pada akhir tahun 1970-an seiring dengan berkembangnya minat penelitian bidang penerjemahan. Sudut pandang penilaian kualitas terjemahan berubah ke arah yang lebih kompleks. Namun, para ahli tidak serta merta mengabaikan konsep penilaian tradisional karena pada dasarnya faktor tersebut tetap sangat berpengaruh.

Penerjemahan tidak bisa didalami sebagai penelitian kuantitatif, karena proses yang terjadi ketika seorang penerjemah melakukan tugasnya melibatkan banyak faktor yang tidak terlihat. Hal ini berkaitan dengan proses yang terjadi dalam otak manusia, aspek sosial yang terjadi pada dua atau lebih lingkungan yang berbeda, dan tentu saja aspek linguistik yang menjadi landasan berdirinya bahasa. Terlepas dari teori bahwa bahasa adalah suatu hal yang universal, tetap saja ada banyak faktor yang tidak berlaku universal ketika kita berbicara tentang dua penutur dari dua bahasa yang berbeda.

Dari pemikiran tersebut, berkembang anggapan bahwa proses penerjemahan sangat erat kaitannya dengan fungsi dari suatu tuturan. Fungsi tersebut berhubungan erat dengan siapa penuturnya, apa landasan dibalik tuturan, dan kondisi apa yang memengaruhinya. Dengan memasang platform pada tataran fungsi suatu teks, penelitian bidang penerjemahan memasuki spektrum baru yang dikenalkan oleh Hans J. Vermeer melalui teori skoposnya.

Kata skopos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sasaran atau tujuan. Vermeer meyakini bahwa tujuan yang ingin disampaikan suatu teks sumber akan memengaruhi strategi atau metode yang akan diterapkan pada proses penerjemahan.

Vermeer menentang teori ekuivalensi dalam penerjemahan yang menekankan bahwa tugas seorang penerjemah harus berfokus pada teks sumber dan pada dampak yang akan ditimbulkan kepada penutur bahasa sumber. Menurut teori ekuivalensi, orientasi penerjemah hanya terpaku pada teks sumber.

Sebaliknya menurut Vermeer, penerjemah harus mencari tahu terlebih dahulu tujuan dari proses penerjemahan yang akan dilakukan guna menghasilkan terjemahan yang memadai secara fungsi dan sasaran. Dari titik tersebut, penerjemah nantinya dapat menentukan strategi penerjemahan yang paling cocok untuk diterapkan pada saat melaksanakan tugasnya sebagai seorang penerjemah.

Aturan dasar teori skopos merumuskan beberapa butir penting dalam suatu proses penerjemahan:
1. Teks sasaran ditentukan oleh skopos-nya;
2. Teks sasaran merupakan tawaran informasi (Informationsangebot) yang disampaikan dalam bahasa sasaran dan konteks budaya bahasa sasaran mengenai suatu tawaran informasi yang terkandung dalam bahasa sumber dan budaya bahasa sumber;
3. Teks sasaran tidak menginisiasi pertukaran kembali tawaran informasi secara langsung ke arah sebaliknya;
4. Teks sasaran harus koheren secara internal dalam bahasa sasaran;
5. Teks sasaran harus koheren dengan bahasa sumber;
6. Lima aturan di atas berlaku secara runut dengan teori skopos menjadi pijakannya.

Aturan 2 mengaitkan TSa dengan TSu pada fungsi yang diangkat berdasarkan tataran linguistik dan konteks budaya yang berlaku pada kedua bahasa. Aturan 3 membuktikan bahwa fungsi yang melekat pada konteks budaya TSa tidak serta-merta sama dengan konteks budaya pada bahasa sumber. Sementara itu aturan 4 dan 5 berfokus pada penyampaian suatu aksi (action) yang menjadi landasan penerjemahan dan pengalihan informasi yang menjadi tujuan dari proses penerjemahan. Aturan 4 dan 5 mengatur aspek koherensi kedua bahasa yang nantinya bersinggungan dengan aspek koherensi internal dan koherensi intertekstual.

Dengan kata lain, teks sasaran harus disampaikan dengan cara yang koheren bagi penutur bahasa sasaran. Dalam konteks ini, aspek yang memengaruhi tingkat koherensi terjemahan di antaranya berhubungan dengan informasi yang diterima oleh penerjemah dari teks sumber, interpretasi yang diterima oleh penerjemah kemudian disaring menjadi olahan informasi yang ada dalam pikiran penerjemah. Olahan informasi tersebut selanjutnya dikodekan ke dalam bahasa sasaran dan disesuaikan dengan target pembaca dalam bahasa sasaran.

Referensi:
Vermeer, H. 1987. A Frame Work for a General Theory of Translation. Heidelberg University Press.





Teknik Penerjemahan: Modulasi



Setiap bahasa memiliki aspek sosial yang memengaruhi proses terbentuknya sebuah bahasa. Latar belakang budaya yang berlaku pada suatu kelompok penutur suatu bahasa akan menciptakan sebuah bahasa yang unik dan dipahami oleh penutur dalam lingkup sosial tersebut. Ilmu linguistik sendiri memberikan sebuah porsi khusus untuk penelitian dalam bidang ini, yakni sosiolinguistik.

Perbedaan sosial dan budaya setiap bahasa menimbulkan permasalahan baru dalam komunikasi antarbudaya. Terlepas dari perbedaan fundamental setiap bahasa, konteks tuturan juga akan memengaruhi ketersampaian pesan dari suatu bahasa ke bahasa lain.

Perhatikan contoh di bawah ini:
Hei, jangan besar pasak daripada tiang!”

Apakah kita sebagai orang Indonesia akan menyampaikan kalimat di atas kepada orang Amerika secara harfiah? Jika iya, apakah pesannya akan tersampaikan? Tentu tidak, pesan yang terkandung dalam kalimat di atas hanya akan dapat dipahami oleh penutur bahasa Indonesia. Lantas, bagaimana caranya menyampaikan pesan di atas kepada penutur yang tidak berbicara atau memelajari bahasa Indonesia? Jawabannya adalah dengan teknik modulasi.

Dalam penerjemahan, teknik modulasi didefinisikan sebagai pengubahan sudut pandang untuk menyampaikan suatu fenomena yang sama dengan cara pengungkapan yang berbeda. Dalam hal ini, suatu teks akan diterjemahkan dengan cara mencari padanan kata atau ungkapan yang dapat menyampaikan pesan yang tersirat dalam suatu teks sumber.

Ada beberapa bentuk modulasi yang sering ditemukan dalam penerjemahan:
  • Modulasi standar: modulasi jenis ini biasa ditemukan dalam kamus dua bahasa. 
  • Modulasi bebas: modulasi jenis ini lebih sering digunakan oleh penerjemah dalam melakukan proses penerjemahan. Modulasi ini diterapkan ketika suatu terjemahan tidak berterima dalam bahasa sasaran. Hal ini bisa disebabkan oleh ambiguitas, makna tersirat, keterbatasan pilihan kata, dan lain sebagainya.
Ada beberapa jenis metode penerjemahan dengan menerapkan teori modulasi:

1. Space for time modulation

Latar ruang dalam suatu teks sumber dialihbahasakan ke dalam bahasa sasaran dengan menggunakan latar waktu.
Contoh:
Where an agreement is particularly complicated, a separate written contract can include specific terms that address what the parties will do if things happen to go wrong in the future.
Ketika sebuah perjanjian bermasalah sebagian, sebuah kontrak terpisah secara tertulis dapat merumuskan ketentuan spesifik yang membahas tindakan yang akan dilakukan para pihak jika terjadi permasalahan pada masa yang akan datang.

Where dalam bahasa Inggris merupakan kata dengan latar tempat, sedangkan dalam terjemahannya berubah menjadi ketika yang memiliki latar waktu. Walaupun kata yang dipakai berbeda, konteks dan makna yang disampaikan dalam kedua teks tetap sama.


2. Intervals and limits modulation
Rentang atau batas waktu suatu kejadian ditekankan secara berbeda antara teks sumber dan teks sasaran.
Contoh:
This decision shall not enter into force until it is approved by the management.
Keputusan ini berlaku setelah disahkan oleh manajemen.

Dalam bahasa sumber, rentang waktu yang ditekankan adalah sebelum pengesahan oleh manajemen, sedangkan dalam bahasa sasaran rentang waktu yang ditekankan adalah setelah pengesahan oleh manajemen. Walaupun penekanan rentang waktu kedua teks berbeda, makna yang terkandung tetap sama. Aspek semantiknya tidak mengalami perubahan.




3. Part-whole modulation
Padanan yang dipilih berbeda secara konteks kesatuan sebuah kata atau istilah. Misalnya, kata 'keseluruhan' dan 'seluruh bagian' memiliki makna yang sama, tetapi tatarannya berbeda. 'Keseluruhan' lebih menekankan pada kesatuan utuh, sedangkan 'seluruh bagian' lebih menekankan pada komponen penyusun suatu kesatuan secara utuh.
Contoh: 
 The report shall be submitted every three months.
Laporan harus diserahkan setiap kuartal.

Teks sumber menekankan 'setiap tiga bulan' yang merupakan suatu kesatuan unit dari 'kuartal' seperti yang disampaikan dalam teks sasaran.


4. Negation of opposite modulation
Lawan kata (antonim) dari sebuah kata dalam teks sumber dinegasikan dalam teks sasaran sehingga maknanya tetap sama.
Contoh:
The product concerned is a commodity product that only exists in one product type and specification (...).
Produk yang dimaksud adalah produk komoditas yang tidak memiliki jenis dan spesifikasi lain.


5. Abstract for concrete modulation
Padanan dengan penjelasan berupa penggambaran (abstrak) digunakan untuk mewakili padanan konkret dari suatu kata dalam bahasa sumber.
Contoh:
New York City is home to more skyscrapers than any other city in the world.
Kota New York adalah rumah bagi gedung-gedung menjulang tinggi yang jumlahnya lebih banyak dari kota mana pun di dunia.


6. Change of symbol modulation
Pilihan padanan kata pada masing-masing teks menyampaikan makna yang sama, tetapi menggunakan simbol yang berbeda.
Contoh:
(...) is subject to European Union Law on Data Privacy.
(...) dikenakan hukum perlindungan data Uni Eropa.

Dalam bahasa Inggris, istilah yang digunakan lebih menekankan pada privasi yang sarat makna rahasia. Istilah tersebut kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi perlindungan data yang menekankan pada keamanan. Walaupun demikian, kedua padanan tersebut menyiratkan makna perlindungan dan keamanan sehingga kedua versi di atas masih menyampaikan makna yang sama.


7. Popular learned modulation
Modulasi seperti ini terjadi ketika padanan kata yang dipilih berbeda tingkat formalitasnya. Salah satu teks menggunakan padanan kata yang tidak formal, sedangkan teks lainnya menggunakan kata yang lebih formal atau lebih ilmiah.
Contoh:
(...) an appropriate treatment for the inactivation of disease agents.
(...) tindakan yang tepat untuk penonaktifan patogen.

Patogen tergolong ke dalam register kata ilmiah bidang kesehatan yang tingkat formalitasnya lebih tinggi daripada disease agents dalam bahasa Inggris.



Referensi:
Raiss, Georgiana. 2015. Modulation in The Translation Process: The Same Meaning from a Different Perspective. A Bilingual EU Corpus-Based Analysis. Romania: University of Pitești.
Vinay, J.P. dan Jean Darbelnet. 1995. Comparative Stylistics of French and English: A Methodology for Translation. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company


Teknik Penerjemahan: Transposisi



Penerjemahan yang baik adalah penerjemahan yang membuat nyaman pembaca teks terjemahan. Nyaman dalam konteks ini adalah ketika teks terjemahan dapat mengalir dengan baik dan tidak terasa seperti sebuah terjemahan. Sebagai seorang penerjemah, insting seperti ini harusnya sudah melekat dengan baik dalam diri penerjemah. Dengan demikian, ketika mengerjakan sebuah pekerjaan terjemahan, target penerjemah adalah bagaimana membuat pembaca merasa teks yang kita terjemahkan seperti sebuah teks asli dalam bahasa sasaran. Pada akhirnya, mereka tidak sadar kalau teks yang mereka baca adalah hasil dari sebuah proses penerjemahan. Jika hal ini tercapai, penerjemah dianggap berhasil.

Ada banyak cara untuk menghasilkan terjemahan yang nyaman dan berterima. Proses olah kalimat baik pada tataran sintaksis dan semantis dalam bahasa sasaran bisa digunakan. Namun, penerjemah tidak bisa seenaknya mengubah teks sasaran tanpa melihat konteks dan makna teks sumber. Oleh karena itu, ada batasan-batasan yang perlu dipatuhi oleh penerjemah.

Salah satu metode penerjemahan yang bisa digunakan untuk membuat teks dapat mengalir dengan baik adalah teknik transposisi. Metode ini diterapkan dengan cara mengubah jenis kata teks sumber menjadi jenis kata sepadan yang berbeda tanpa mengubah arti (Wortartwechsel). Pada tataran sintaksis, nilai kedua teks tidak sama atau mengalami perubahan. Namun, pada tataran semantik, keduanya bermakna sama.

Perhatikan kalimat berikut:
Penerjemahan adalah mengubah teks sumber ke dalam teks sasaran. (Perubahan teks sumber ke dalam teks sasaran disebut penerjemahan.)

Secara struktur kalimat, kedua kalimat di atas berbeda. Namun, keduanya mengandung makna kalimat yang sama.

Jika transposisi dikaitkan dengan aturan jenis kata, sebuah rujukan ilmiah linguistik dari Bausch bisa digunakan. Karl-Richard Bausch menjelaskan konsep aturan jenis kata dalam sebuah jurnal penerjemahan Linguistica Antverpiensia yang terbit pada tahun 1968. Jenis perubahan jenis kata adalah sebagai berikut:

1. Substitusi
Unsur penanda dalam bahasa sumber digantikan menjadi satu atau beberapa penanda dengan jenis kata yang berbeda dalam bahasa sasaran. Cara ini disebut juga substitusi sepenuhnya.
Contoh:
Dia bertolak dari argumen bahwa...  Dia berpendapat bahwa...

2. Chassé-croisé
Jenis ini bisa dikatakan sebuah kasus khusus substitusi penuh. Pada kasus ini dua penanda bahasa sumber diterjemahkan menjadi dua penanda berbeda dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, ada dua substitusi yang terjadi (doppelte Substitution).
Contoh:
Il me rendit mon salut Er grüßte mich wieder.

Rendit (kata kerja)  wieder (kata keterangan)
Salut (kata benda)  grüßen (kata kerja)

3. Dilusi 
Informasi yang disampaikan sebuah penanda dalam bahasa sumber diterjemahkan ke dalam beberapa penanda dalam bahasa sasaran. Pada saat yang bersamaan juga mengandung beberapa jenis kata.
Contoh:
Eine alte weißhaarige Frau. An old woman with white hair.

4. Konsentrasi
Metode ini adalah kebalikan dari Dilution. Informasi dalam bentuk beberapa penanda bahasa sumber diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran dengan penanda yang lebih sedikit.

5. Amplifikasi
Penambahan detail informasi secara lebih gamblang ke dalam bahasa sasaran (eksplisit).
Contoh:
Donald Trump will visit him tomorrow. 
Donald Trump akan mengunjunginya (Vladimir Putin) besok.

6. Reduksi
Metode ini adalah kebalikan dari amplifikasi. Detail informasi yang disampaikan dalam bahasa sumber dihilangkan karena asumsi pemahaman penutur bahasa sasaran atau informasi tersebut hanya bersifat implisit.
Contoh:
Jokowi, who was born in Solo, is the current president of the Republic of Indonesia.
Jokowi adalah presiden Republik Indonesia saat ini.

Referensi:
Bausch, K.-Richard. 1968: Die Transposition. Versuch einer neuen Klassifikation. Linguistica Antverpiensia II
Molina, Lucia dan Hurtado Albir, A. 2002. Translation Techniques Revisited: A Dynamic and Functionalist Approach dalam Meta: Journal des traducteur/Meta: Translator’ Journal. XLVIII, No. 4.
Stolze, Radegundis. 2018. Übersetzungstheorien: eine Einführung. Tübingen: Narr Francke Attempto Verlag GmbH + Co. KG.


Teknik Penerjemahan: Kalke (Calque)



Calque merupakan teknik penerjemahan dengan cara meminjam kata atau frasa dari bahasa sumber dan mengalihbahasakannya ke dalam bahasa sasaran secara harfiah atau diterjemahkan kata per kata. Kata calque berasal dari bahasa Prancis yang berarti imitasi atau menyalin. Menerjemahkan secara calque pada dasarnya adalah mengambil makna kata dari bahasa sumber dan membungkusnya dengan kata yang sepadan dalam bahasa sasaran.

Pembentukan kata serapan dengan metode calque sangat sering digunakan oleh praktisi penerjemahan. Proses pengembangan atau penambahan kosa kata baru dalam kamus pun biasanya menerapkan metode ini. Walaupun demikian, pada kenyataannya istilah calque tidak terlalu sering digunakan untuk merujuk teknik penerjemahan dengan cara seperti ini.

Metode ini biasanya digunakan ketika tidak ditemukan istilah yang sepadan dalam bahasa sasaran. Untuk dapat menggunakan metode calque, penutur bahasa sasaran harus memahami secara baik konteks istilah dalam bahasa sumber sebelum mengalihbahasakannya ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, pertimbangan pemakaian metode ini harus didasarkan pada kesamaan persepsi atau konteks yang digunakan oleh penutur bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Analisis etimologi suatu kata diperlukan untuk melihat asal mula penggunaan suatu istilah dalam bahasa sasaran. Hal ini menyebabkan agak sulitnya membuktikan penggunaan metode calque pada suatu istilah dalam bahasa sasaran. Hal ini terutama dihadapkan kepada para ahli linguistik ketika mereka harus menentukan rujukan awal suatu istilah dalam bahasa sasaran.
Metode calque dalam penerjemahan dibagi ke dalam beberapa jenis:

  • Calque Tataran Frasa
Setiap bahasa memiliki ungkapan dan frasa yang biasanya hanya identik dengan bahasa tersebut sehingga agak menyulitkan untuk mengalihbahasakannya ke dalam bahasa sasaran karena faktor perbedaan budaya. Walaupun demikian, idiom atau frasa dari suatu bahasa tidak mustahil untuk digunakan scara utuh ke dalam bahasa sasaran dengan menerjemahkannya kata per kata.
Contoh:
big head – besar kepala
dark horse - kuda hitam

  • Calque Tataran Semantik
Proses penyerapan istilah asing pada tataran ini melibatkan penerimaan makna yang dikandung atau dirujuk oleh suatu istilah bahasa sumber. Setelah itu dialihbahasakan ke dalam bahasa sasaran dengan rujukan arti (aspek semantik) yang sama.
Contoh:
Mouse (komputer) - Tetikus

Dalam bahasa Inggris, mouse pada komputer diambil karena bentuknya yang seperti tikus. Rujukan yang sama diimitasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi tetikus.

  • Calque Tataran Sintaksis
Dalam proses penerjemahan, penggunaan sepenuhnya struktur bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran sebisa mungkin dihindari. Hal ini ditujukan untuk menjaga kenyamanan pembaca teks sasaran. Selain itu juga untuk mencegah kesan “teks seperti terjemahan” karena kalimat tidak mengalir secara natural.
Contoh:
It’s understandable that you were surprised to see the beauty of Indonesia.
Dapat dipahami bahwa kamu terkejut melihat keindahan Indonesia.

  • Calque Berupa Serapan
Metode ini menerapkan proses imitasi istilah dari bahasa asing ke dalam bahasa sasaran.
Contoh:
Skyscrapper – Pencakar Langit
Ohrwurm - Earworm

Teknik dan Metode Penerjemahan (Stylistique Comparée)



Dalam penerjemahan, pokok permasalahan utama yang dihadapi penerjemah adalah bagaimana cara menyampaikan suatu teks sasaran yang setara dengan konteks dan gaya bahasa teks sumber. Bertolak dari sinilah, dua orang ahli linguistik berkebangsaan Prancis, Vinay dan Darbelnet, mengembangkan sebuah metode atau prosedur penerjemahan yang berfokus pada ekuivalensi atau kesetaraan antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Konsep ini dituangkan dalam sebuah buku berjudul Stylistique Comparee du Francais et de l'Anglais yang diterbitkan pada tahun 1958.

Vinay dan Darbelnet mengelompokkan metode penerjemahan sebagai berikut:
1. Emprunt
Pemakaian leksem dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa perubahan ortografi dan isi.
Mis: detail, internet, radio, unit.

Selain itu, pada tataran lebih lanjut terdapat juga proses naturalisasi kosa kata bahasa asing ke dalam bahasa sasaran. Proses ini melibatkan penyesuaian ortografi dan pelafalan kosa kata pinjaman yang disesuaikan dengan pola bahasa sasaran.
Mis: accomodation – akomodasi, allergy – alergi, design – desain, infrastructure – infrastruktur, metabolism – metabolisme, verandah – beranda.

2. Calque
Substitusi kosa kata bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang secara sintaksis bahasa sasaran masih dapat berterima. Biasanya, konsep ini diterapkan pada pembentukan istilah baru.
Mis: developing country > negara berkembang, bilingual > dwibahasa, artificial intelligence > kecerdasan buatan.

3. Traduction litteralé
Pengalihbahasaan suatu teks yang masih mempertahankan struktur sintaksis bahasa sumber.
Contoh:
She will take a maternity leave. – Dia akan mengambil cuti melahirkan.
They go to school. – Mereka pergi ke sekolah.

4. Transposition
Unsur bahasa sumber dialihkan ke dalam bahasa sasaran dengan cara mengubah tataran struktur teks sasaran.
Contoh: “after she died” – “setelah kematiannya”

5. Modulation, Equivalence, Adaptation
Perubahan isi teks bahasa sumber yang membentuk perubahan struktur semantis segmen teks sumber dan teks sasaran.
Modulasi: Perubahan perspektif yang disertai dengan perubahan leksikal dalam bahasa sasaran.
Contoh:
“You can have it.” – “Ambil saja.”

Ekuivalensi: Perubahan konteks situasi bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui penyeteraan konteks situasi yang berlaku dalam bahasa sasaran.
Contoh:
“Selamat makan!” – “Enjoy your meal!

Adaptasi: kompensasi tekstual berdasarkan perbedaan sosial budaya antara penutur bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Contoh:
Dear participants” –“Para peserta yang terhormat”

Referensi:
Stolze, Radegundis. 2018. Übersetzungstheorien: eine Einführung. Tübingen: Narr Francke Attempto Verlag GmbH + Co. KG.
Vinay, Jean-Paul, dan Jean Darbelnet. 1958. Stylistique Comparee du Francais et de l'Anglais. London: George G.Harrap & Co Ltd.

Menelaah Teori Pergeseran Terjemahan (Translation Shift)



“Time travel is impossible.”
(Penjelajahan waktu tidak mungkin dilakukan.)

Siapa bilang kita tidak bisa menjelajahi waktu? Saat ini sudah ada beberapa teori yang terus dikembangkan agar manusia dapat menjelajahi waktu. Berbagai bidang keilmuan dilibatkan untuk memecahkan teka-teki ini mulai dari fisika kuantum hingga filsafat. Eits, tunggu dulu! Bukan perkara itu yang ingin saya bahas dalam tulisan kali ini. Saya ingin kita kembali mengamati dua kalimat pembuka di atas. Keduanya menyampaikan makna yang sama, tetapi dalam dua bahasa yang berbeda serta susunan penyusun kalimat yang berbeda.

Sebelum kita membahas hal ini, perlu diingat bahwa di sini kita tidak membicarakan mengenai benar atau tidaknya terjemahan kalimat di atas, melainkan analisis perubahan tataran struktur gramatika dalam teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa). Oleh karena itu, contoh TSu dan TSa yang dipilih adalah teks yang menampilkan perbedaan signifikan untuk mempermudah pemahaman kita. Mari kita bongkar perbedaan kedua kalimat di atas:


  1. time travel = penjelajahan waktu; 
  2. time travel dalam bahasa Inggris memiliki struktur gramatika MD (Menerangkan-Diterangkan), sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi penjelajahan waktu (DM);
  3. travel (kata kerja yang berfungsi sebagai kata benda) berubah menjadi penjelajahan (kata benda turunan); 
  4. impossible (kata) = tidak mungkin (frasa); 
  5. fungsi kala is menjadi hilang dalam bahasa Indonesia. 
Perubahan yang dijabarkan di atas adalah pergeseran struktur gramatika TSu dan TSa yang menurut teori penerjemahan dikenal sebagai pergeseran terjemahan (translation shift). Secara semantis, makna yang disampaikan tetap sama. Namun, ada perbedaan yang kentara pada tataran sintaksis. Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan kali ini.

Teori pergeseran terjemahan atau translation shift merupakan sebuah teori yang diperkenalkan pertama kali oleh John Catford dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation (1965). Catford menjelaskan bahwa suatu perubahan terjadi atau dapat terjadi dalam proses penerjemahan sehingga terbentuk pergesaran tatanan struktur. Hal ini diakibatkan oleh usaha untuk mengejewantahkan perbedaan sistemik antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Pada dasarnya, teori ini menyoroti perubahan secara sintaksis dan semantis untuk menghasilkan terjemahan yang berterima dan setara.

John C. Catford (Sumber: University of Michigan)

Catford membagi pergeseran terjemahan ke dalam dua jenis, Level Shift dan Category Shift:

Level Shift
Dalam konsep ini, pergeseran terjemahan terjadi pada tataran gramatika menjadi tataran leksikon dalam bahasa sasaran.
Contoh:

He is watching. – Dia sedang menonton.


Struktur gramatika to be + V-ing dalam bahasa Inggris berubah secara leksikal menjadi sedang dalam bahasa Indonesia.

Category Shift
Pergeseran terjemahan jenis ini terjadi akibat proses penerjemahan secara bebas sehingga tidak terpaku pada ekuivalensi tataran gramatika bahasa sumber dan bahasa sasaran. Penerjemahan dengan metode seperti ini dianggap normal karena fokus utamanya ditujukan pada pantas atau berterimanya suatu teks sasaran bagi penutur bahasa sasaran. Category shift dibagi menjadi beberapa jenis:

Structure shifts
Perubahan struktur gramatika bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Catford meyakini bahwa pergeseran struktur gramatika adalah jenis pergeseran terjemahan yang paling sering terjadi karena perubahan dapat terjadi pada semua tataran bahasa.
Contoh: round table (MD) – meja bundar (DM)

Class shifts
Pengalihbahasaan salah satu bagian teks sumber ke dalam teks sasaran pada tingkatan kelas kata yang berbeda, mis. kata kerja diterjemahkan menjadi kata benda.
Contoh:
annual report – laporan tahunan;
annual (adjektif) menjadi tahunan (nomina).

Catford meyakini bahwa pergeseran struktur pasti melibatkan pergeseran kelas. Hal in bisa dibuktikan dengan membandingkan contoh pada pergeseran struktur dan pergeseran kelas yang disajikan di atas.

Unit shifts
Perubahan terjadi pada tingkatan satuan gramatikal bahasa. Misalnya pergeseran dari morfem menjadi kata, kata menjadi frasa, klausa menjadi kalimat, dan sebaliknya.
Contoh:
- impossible (kata) menjadi tidak mungkin (frasa).

Intra-system shifts
Perubahan terjadi secara internal dalam suatu sistem bahasa. Pergeseran yang terjadi di sini berlangsung pada tataran yang tidak saling bersesuaian antara TSu dan TSa walaupun keduanya memiliki sistem yang serupa. Setiap bahasa memiliki sistem pembentukan nomina tersendiri dan ada beberapa bahasa yang menggunakan sistem artikel untuk nominanya. Oleh karena itu, ketika proses penerjemahan dilakukan, ekuivalensi terjemahan pada tataran ini dapat mengalami pergeseran.

Contoh:
- scissors (plural) menjadi gunting (tunggal);
- der Spiegel (berartikel) menjadi cermin (tanpa artikel).

Catford menyebutkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran terjemahan, yakni faktor linguistik dan faktor budaya. Secara linguistik, pergeseran dapat terbentuk akibat pendefinisian benda secara konkret dan pemaknaan kata secara abstrak. Di sisi lain, pergeseran juga terjadi akibat pengaruh budaya ketika suatu komponen bahasa hanya berlaku dan dipahami oleh suatu kelompok penutur yang memiliki kesamaan latar budaya.

Referensi:
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press;
Stolze, Radegundis. 2018. Übersetzungstheorien: Eine Einführung. Tübingen: Narr Francke Attempto Verlag;
http://www.iosrjournals.org/iosr-jhss/papers/Vol19-issue12/Version-5/F0191253138.pdf

Contact Me

Phone :

+62 812 420 9550

Address :

Kemayoran, Jakarta Pusat
Indonesia

Email :

anojumisa@gmx.de

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Halaman